Sabtu 3/3/2018 | 01:00
Tarot, Antara Klenik dan Analisa
Tarot tidak diartikan sebagai ramalan. Dalam tarot, ada prediksi yang berdasarkan analisa. Komunitas Tarot Jakarta memprediksi kejadian berdasarkan sebuah analisa.
Pernah dengar Tarot? Sebagian besar publik mengenalnya sebagai ramalan kartu. Benarkah tarot murni ramalan? Ya, Tarot memang kerap dikaitkan dengan klenik, sesuatu hal yang dianggap mistis dan berkonotasi negatif.
Padahal, untuk memperkirakan kejadian, para tarot reader atau pembaca tarot perlu memiliki pengetahuan supaya dapat menganalisa klien. “Pembaca tarot harus memiliki background yang sangat luas karena dia harus bisa menjelaskan secara logis,” ujar Dedy Darmawan, 41, Ketua Komunitas Tarot Jakarta (KTJ) yang ditemui bersama teman-temannya di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan, Rabu (21/2).
Berbekal pengetahuan, pembaca tarot akan memiliki ketajaman intuisi sehingga dapat memberikan informasi yang maksimal kepada kliennya. Kemampuan analisa tarot reader perlu diasah secara terus menerus, baik tarot reader berpengalaman maupun untuk tingkat pemula.
Menurut Dedy, adakalanya klien tidak mau bercerita tentang dirinya. Padahal, informasi klien sangat menentukan untuk memprediksi kejadian yang akan terjadi di masa mendatang.
“Kedengarannya sepele, tapi riset dan analisa itu penting, karena bagaimana bisa memprediksi dan memberi solusi kalau klien itu nggak mau cerita,” ujar Dedy tentang kebiasaan yang kerap dilupakan para tarot reader.
Sampai saat ini, beberapa anggota KTJ telah berkolaborasi dengan berbagai lembaga kesehatan maupun pendidikan, seperti skizrofrenia, bipolar maupun perguruan tinggi. Tarot dianggap mampu membantu menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi maupun menjadi rujukan untuk pemecah persoalan di masa depan.
Meski hampir mirip-mirip dengan bidang Ilmu Psikologi, yakni sama-sama memiliki keterampilan memprediksi, namun masih dianggap sebagai kontroversi. Berbagai klien menggunakan tarot untuk bermacam-macam keperluan, mulai dari percintaan, masalah traumatik, karir, pendeteksi kebohongan di kepolisian maupun bisnis.
“Saya pernah empat tahun menjadi financial planner sebuah bank se-Jabodetabek,” ujar Dedy. Bahkan sejumlah partai politik pernah mengincarnya untuk menjadi tim kemenangan. Namun, Dedy memilih untuk tidak mengambil tawaran tersebut dan lebih memilih bersifat netral.
Karena jika tergabung dengan Parpol, maka dia akan menggunakan atribut-atribut Parpol yang dapat mengurangi kenetralannya sebagai tarot reader. Sampai saat ini, anggota KTJ yang umumnya berprofesi sebagai tarot reader kebanyakan laki-laki. Tanpa bermaksud merendahkan, Dedy mengatakan umumnya laki-laki dapat menjadi center ketika menghadapi klien.
Mereka bisa lebih fokus dan dapat mengambil sudut pandang kliennya. Untuk menjadi tarot reader syaratnya adalah niat, memiliki waktu, memiliki kartu dan uang. Uang yang dimaksud menjadi modal untuk membeli buku maupun kartu.
Semula, komunitas yang berdiri pada 12 Maret 2011 bernama Klub Tarot Jakarta. Karena ada masalah internal, pada 2017, mereka memutuskan menggunakan nama Komunitas Tarot Jakarta. Anggota KTJ hampir tidak kelihatan karena kesibukan masing-masing.
Anggota yang tergolong profesional sekitar lima orang. Meski terlihat segelintir, di laman sosial tercatat jumlah anggota sebanyak 500 orang. Kebanyakan diantaranya menjadikan tarot sebagai hobi.
Setiap dua bulan sekali, KTJ melakukan gathering besar bersama seluruh anggota. Di sisi lain, mereka kerap mengadakan pertemuan untuk saaling berbagi pengetahuan. Tak tanggung-tanggung, pertemuan dapat dilakukan mulai pukul 14.00 sampai 07.00 WIB di salah satu restoran cepat saji. Pertemuan tersebut tidak lain untuk mengakomodir waktu luang para anggotanya. din/E-6
Bersikap Netral, Sejenak Menjadi Aktor
Memahami masalah dan sudut pandang klien menjadi salah satu keutamaan tarot reader. Bahkan, kadang-kadang mereka perlu berperan sebagai aktor sejenak untuk memahami masalah secara lebih detail. Hal tersebut yang kadang dilakukan Mohammad Yusuf, 38, anggota KTJ ketika berhadap dengan kliennya. Dengan berperan sebagai aktor sejenak, dia merasa lebih dapat memahami sudut pandang dan masalah klien. “Jadi menurut saya, kita ini artis bisa menjadi cowok ataupun cewek atau orang baik maupun orang yang tidak baik untuk mengetahui permasalahan orang,” ujar dia.
Karena klien yang ditanganinya cukup beragam maka akan lebih mudah jika Yusuf masuk ke permasalahan yang dihadapi klien sejenak. Sementara Morissa Gayatri, 42, berpandangan bahwa seorang tarot reader perlu memposisikan dirinya sebagai pendengar yang netral dan empati. Sikap tersebut diambil supaya tarot reader tidak gampang terpengaruh dengan beragam permasalahan klien.
”Seorang tarot reader gampang terpengaruh dengan lingkungan sekitar kalau kita tidak membatasi diri, emosinya bisa tercampur aduk, semua menjadi kacau, ” ujar wanita yang juga seorang konsultan psikologi ini.
Morissa yang banyak mendapatkan klien untuk urusan percintaan ini mengatakan bahwa kliennya datang dari berbagai kalangan. “Klien saya itu bisa (pasangan) cewek cowok maupun cowok cowok, semua cerita di dengarkan seaneh apapun,” ujar dia. Untuk itu dalam menghadapi klien, dia memilih bersikap netral dan menjaga rahasia setiap cerita dari para kliennya.
Berbeda lagi dengan Deddy yang istilahnya memilih melepas kelamin sejenak. “Kamu dengerin (klien) jangan punya kelamin (tidak berpihak),” ujar dia. Jadi saat berhadapan dengan klien, dia tidak menggunakan cara pikirnya sebagai laki-laki namun dia akan menggunakan cara pemikiran klien lalu membuat sebuah analisa.
“Untuk meminjam pemikirannya akan lebih enak melepaskan kelamin sebentar,” ujar dia. Setelah berhasil mengambil analisa, Dedy baru mengembalikan dirinya ke sediakala. Beragam cara digunakan para tarot reader sebelum mengambil sebuah analisa. din/E-6
Lebih Fleksibel, Kostum Tergantung Karakter
Kostum menjadi pertimbangan untuk para tarot reader. Melalui kostum, mereka mengenalkan profesi tarot reader jauh dari kata menyeramkan bahkan klenik. Dalam sebuah tampilan di pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat, Dedy pernah ditanya tentang kostum yang akan digunakan oleh pengelola pusat perbelanjaan. Mereka berpikir para tarot reader akan berpakaian hitam-hitam sepertihalnya pembaca klenik umumnya.
“Waktu itu, mereka minta penampilannya jangan nyeremin, ya,” ceritanya tentang permintaan pengelola pusat perbelanjaan yang sempat membuatnya kaget. Karena sebagai tarot reader, mereka tidak mempunyai dress code khusus, kecuali dress code yang ditentukan pengundang acara.
Di luar itu, mereka memiliki dress code masing-masing sesuai karakter tarot reader. Bahkan beberapa diantaranya menggunakan pakaian kerja. “Kalau klien menuntut profesional, saya akan menyesuaikan,” ujar pembaca Tarot yang lain, Morissa. Dedy mengatakan penggunaan kostum merupakan satu hal yang di kampanyekan dalam KTJ. Hal tersebut tidak lain untuk membedakan saat para tarot reader melakukan tugasnya maupun saat dia tidak menjalankan profesinya sebagai tarot reader.
Seperti Dedy kalau sedang bekerja, dia akan menggunakan jas sebagai pakaian kerjanya. Lain kalau sedang santai, laki -laki yang selalu membedakan waktu kerja dan santai tersebut memilih pakaian kasual.
“Beberapa teman lainnya menggunakan kostum yang berbeda, seperti blankon, gipsy, jas dan lain sebagainya. Jika mereka sedang tidak melakukan pekerjaan sebagai tarot reader dengan sendirinya kostum-kostum tersebut berganti dengan pakaian seharihari,” ungkap Dedy.
Dedy tak henti-hentinya untuk meminta teman-temannya meng-upload foto ketika menggunakan kostum tarot reader. Beragamnya kostum sekaligus untuk mensosialisasikan bahwa tarot reader bukan berkostum hitam maupun yang terkait klenik lainnya. din/E-6
Share on FacebookTweet ThisShare on Google PlusPin ThisEmail This
Tidak ada komentar:
Posting Komentar